Sabtu, 06 Agustus 2016

Senja dengan Awan Hitamnya



Senja berkabut hitam menemaninya terpekur di atas gundukan tanah merah yang masih basah. Burung gagak bersenandung lagu seribu misteri yang menegangkan, ah dia tetap tidak peduli dengan rasa takutnya. Orang - orang berpakaian serba hitam itu telah meninggalkannya sejak tiga puluh menit yang lalu. Ia tidak bergeser satu sentimeter pun dari pusara itu. Dipeluknya dengan erat makam yang masih segar itu. Aroma bunga kamboja putih masih tercium segar di hidungnya, menyusuk hingga relung hatinya.

Entahlah, antara penyesalan dan benci yang tidak ada obatnya. Antara rindu yang tidak bisa dijawab dengan temu. Bukan yang tenggelam di pusara itu yang ia benci, melainkan ia membenci dirinya sendiri. Ingin rasanya memaki dengan olokan yang paling hina terhadap dirinya sendiri, apadaya mulutnya sejak tadi beku menggigit bibir menahan tangis. Ia tidak akan menangis. Bukan tidak sedih. Hanya saja ia sudah berjanji untuk tidak menangis lagi. 

Perlahan kupu - kupu bersayap corak kehitaman dipadu dengan warna biru laut itu hinggap di atas kanan tangannya. Indah sekali. Kupu - kupu yang berbaik hati menemaninya tanpa menyuruhnya pergi meninggalkan pusara. Menemaninya meredakan luka yang dilukiskan di kala senja menghampiri. Mungkin hingga senja yang ke-tiga puluh hari lagi suasananya tetap sama, ia akan tetap memeluk pusara itu, enggan pulang. 

Ia tidak peduli ada hal yang harus ia lakukan dengan tanggung jawab terberat ada di tangan kanannya. Entahlah, tangan kanan itupun kini terbalik meremas tanah merah itu dengan kasar. Memukul apasaja yang ada di dekatnya. Tidak peduli bahwa sekuat apapun ia memukulnya, seseorang itu tidak lagi kembali menjadi seperti semula. 

Seseorang yang diselimut kabut duka juga luka terkadang ia lupa bahwa semuanya adalah Takdir Allah yang wajib dipercayainya dan diterima dengan ikhlas. 

-To be Continued- wait the next story in my blog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar